بِسْمِ اللّٰھِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمٍ

ASSLMKM WR WB
AHLAN WA SAHLAN.................

KHAIFA HALUK ?

PESAN

Ayo kembali pada Al Qur'an & As Sunnah yang sesuai dengan pemahaman Rasulullah dan para Sahabat beliau............

HIKMAH

..........Dalam ibadah niatkan karena Cinta kepada Allah SWT, karena takut adzab neraka Allah SWT, dan karena mengharap balasan surga dari Allah SWT. Insya Allah itu dapat mengantarkan qta ikhlas dalam beribadah.......

Friday, December 19, 2008

Menjadi Sahabat Yang Menyenangkan

Menjadi Sahabat Yang Menyenangkan

PDF Cetak E-mail
Saturday, 08 April 2006 ( dicuplik dari situs Al Furqon )

Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi'nân/thuma'nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.

Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.

Menikahlah, Karena Itu Ibadah

Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.

   Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.

   Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.

           Jadilah Sahabat yang Menyenangkan

           Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula sebaliknya. Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar partner kerja bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati suaminya.

   Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:

"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS ar-Rum [30]: 21).

   Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela; saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing. Keduanya pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah ithmi'nân/tuma'ninah (ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.

   Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu keniscayaan.

           Bersabar atas Kekurangan Pasangan

           Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak; istri yang kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang ulet' mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.

   Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.

   Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.

   Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma'shûm (terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar!

   Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).

   Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau istri) kita.

   Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya.

Pertama: Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu, atau malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita kepada Allah Swt.

   Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap istri, padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik; suami "cara bicaranya" kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:Â

[i]Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang lain. (HR Muslim).[i]

   Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Wallâhu a'lam bi ash-shawab. []

Menikah Membuatku Kaya

Menikah Membuatku Jadi Kaya

Oleh Azimah Rahayu
13 Jun 2006 06:59 WIB

Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?� Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...�. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?� sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.� Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?� tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!� Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?� tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?� tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!

Baru sebulan menikah.
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?�
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.� Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
“Ke ITC, yuk, Mas?� Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?� kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,�Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?� Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?� Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...� Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!

***

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.

Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

@Azimah, 070606

(http://eramuslim.com/atc/oim/44892bfd.htm)

Friday, December 5, 2008

Al-'Asr ( France translate )

Au nom d'Allah, le Tout Miséricordieux, le Très Miséricordieux.

[1] Par le Temps! [2] L'homme est certes, en perdition, [3] sauf ceux qui croient et accomplissent les bonnes œuvres, s'enjoignent mutuellement la vérité et s'enjoignent mutuellement l'endurance.

Al-'Asr

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

[1] Demi masa. [2] Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, [3] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Wednesday, December 3, 2008

101 Catatan Pembakar Semangat Iman

Banyak-banyaklah merenungkan nikmat. Panjatkanlah senantiasa puja-puji kepada Allah. Ya, betapa tak terhingga dan tak terbilangnya nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kita…. Isteri dan anak-anak yang seperti bunga mawar. Setiap hari kita menikmati senyum mereka yang merekah. Tapi, renungkanlah dengan seksama! Rumah yang penuh dengan cinta dan kasih sayang ini, ternyata sejak bertahun-tahun lalu tidak lagi diselenggarakan kajian agama di dalamnya.

Ia akhirnya harus memutuskan. Maka, dipanggillah isteri dan anak-anaknya. ‘Setiap hari Rabu setelah Maghrib, kita harus belajar agama di ruang tengah rumah ini. Ini harus, agar kita terbiasa dan sungguh-sungguh mengisi rumah ini dengan kajian ilmu agama!,’katanya.

Maka, setiap hari Rabu ia membacakan Sirah (Biografi) Nabi r dalam suasana hening dan penuh hikmat. Ini adalah titik tolak pelajaran, sehingga ia akan terus berkesinambungan di sebuah rumah yang penuh dengan cinta dan kasih sayang.
Sungguh sebuah rumah yang penuh diliputi oleh semangat Islam dan iman. Suasana belajar itu begitu nikmat. Sang isteri sangat bersuka cita. Anak-anak pun selalu menanti-nanti datangnya Rabu.

Ia meninggikan suaranya, ‘Allahumma shalli alaa Muhammad’, dan menitiklah air matanya. Maha benar Allah Yang Maha Agung.
“Sesungguhnya engkau ya Muhammad, memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Ia berulang-ulang membaca ayat itu. Sementara dari radio, ia mendengar kisah pengakuan Anas bin Malik, pelayan Rasulullah Saw: “Saya membantu Nabi Saw selama 10 tahun. Demi Allah, beliau belum pernah mengatakan kepadaku, ‘ah’. Juga tidak pernah mengatakan tentang sesuatu, ‘Kenapa kamu lakukan ini?! Kenapa tidak kamu lakukan yang ini?”.

Ia berniat mengikuti tuntunan itu dan meniti di atas jalannya. Ia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Saya harus berusaha untuk bersikap lembut kepada pembantuku. Saya harus memerintahkannya pada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran’.

Ia masih termangu, mengulang-ulang sambil terheran-heran, sepuluh tahun….!! Allahumma shalli alaa Muhammad.

(diambil dari buku 101 Catatan Pembakar Semangat Iman karya Abd. Malik Al-Qasimi, Pustaka Elba)